Selasa, 07 Mei 2013

Teknik Budidaya Lele Efisien Pakan

By. Rai Agung Irfan S, A.Md

Banyak cara yang dilakukan para pembudidaya lele dalam menjari jalan keluar dari persoalan terus melambungnya harga pakan yang kini telah menembus Rp8.300/kg. Mulai dari membuat pakan alternatif, mencoba menerapkan probiotik, hingga cara-cara lain yang diluar standar.

Cara yang cukup unik dan telah berhasil dilakukan oleh Suminto, marketing dan pendiri Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) dan UPR (Unit Perbenihan Rakyat) Dumboys yang beralamat di Mandiraja, Banjarnegara, Jawa Tengah. “Kami justru kembali ke cara organik, sistem air tertutup. Air tidak diganti dan tidak ditambah jika tidak terpaksa,” kata penyuluh perikanan swadaya ini.

Menurut pengakuan Minto, panggilan akrabnya, ia mengadopsi teknik flok/bioflok, meski tidak secanggih teknik aslinya. Sistem ini tidak dimaksudkan untuk mempercepat panen, tetapi untuk mengefisienkan penggunaan pakan dan menurunkan angka kematian.
Prinsip

Menurut Dwi Purnomo, Technical Service PT Suri Tani Pemuka wilayah Banyumas, kunci dari sistem tertutup ini adalah penggunaan kompos dan probiotik untuk menumbuhkan pakan alami seperti daphnia dan flok yang dihasilkan oleh koloni bakteri. Daphnia akan segera habis dalam beberapa hari sejak benih dimasukkan ke kolam. Setelah itu adanya sisa-sisa pakan dan kotoran ikan yang mengandung unsur C dan N akan dimanfaatkan oleh bakteri untuk membentuk flok.

Indikator keberhasilannya adalah warna air kemerahan, tanda bahwa yang tumbuh adalah bakteri, bukan plankton. “Tetapi karena kolamnya terbuka, sehingga saat penghujan air masuk kolam. Sehabis hujan itu biasanya air menghijau karena tumbuh plankton. Warna kemerahan terlihat nyata saat kemarau,” paparnya.
Pembuatan Kompos

Minto menggunakan kompos dari kotoran sapi basah yang diperam selama 20 hari – 1 bulan hingga tidak berbau. “Komposnya juga basah, toh nanti juga akan dimasukkan ke kolam jadi tidak usah dikeringkan,” katanya. Sebelum difermentasi, setiap 100 kg kotoran sapi diberi larutan mengandung tetes tebu 2 kg, probiotik 60 ml, tepung ikan 4 kg,dan urea satu sendok makan. Setelah larutan diaduk de dalam kotoran sapi, lalu ditutup dengan terpal.
“Sebulan saya menghasilkan 4 – 5 ton kompos basah. Sebagian saya jual Rp 1.000/kg,” terang Minto. Ia menyatakan kompos tidak mesti memakai kotoran sapi. Bisa juga dipakai kotoran ternak lainnya seperti kotoran kambing maupun puyuh. “Tetapi pemeramannya (fermentasi) harus lebih lama, karena sifatnya lebih ‘keras’,” jelasnya. Apalagi kotoran kambing yang lebih padat, sebaiknya dipecah terlebih dahulu. Karena tidak mau repot dan terlalu lama pengkomposannya, maka Minto menyatakan lebih suka memakai kotoran sapi.
Menurut Dwi Purnomo, penggunaan tetes tebu, tepung ikan dan urea adalah untuk memberi suplai unsur C/N pada bakteri dalam kotoran dan probiotik sebagaimana prinsip flok di atas. “Urea hanya sedikit dipakai, hanya untuk membangunkan bakteri dalam kotoran sapi,”jelasnya.
Sistem Tertutup

Minto membagi dua macam air untuk kolamnya. Pertama air baru yang akan digunakan untuk budidaya. Air ini membutuhkan perlakuan khusus berupa pengkomposan dan penumbuhan pakan alami agar bisa digunakan untuk budidaya. Kedua air kolam bekas yang di-recycle/re-use agar bisa digunakan kembali. “Air bekas jika ditangani dengan benar justru lebih baik karena didalamnya sudah ada koloni bakteri yang dibutuhkan,” katanya.

Sebelum menggunakan sistem air tertutup ini, Minto harus menguras 10 petak kolam dari 70 petakan setiap hari. “Air cepat kotor, berbau, dan dinding bak/kolam juga tertutup lumut. Sehingga boros waktu, tenaga dan air,”paparnya. Setelah mengadopsi sistem baru ini, bau menyengat amonia maupun amis sisa pakan lenyap tak bersisa dari kompleks kolamnya.

Demikianlah informasi mengenai cara untuk efisiensi pakan lele untuk hasil panen yang maksimal dari Bapak Suminto, semoga bermanfaat.
(sumber:trobos)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar